Makam Sunan Gunung Djati merupakan salah
satu tempat Wisata Religi yang berada di wilayah cirebon-jawa barat tepatnya
berada di kabupaten cirebon (cirebon utara). tempat wisata ini cukup terkenal
karena terdapat makam Syarif Hidayatullah beliau merupakan salahsatu
mubaligh yang terkenal dengan sebutan nama Sunan Gunung Djati sehingga nama
Sunan Gunung Djati dijadikan nama tempat wisata religi yaitu makam Sunan Gunung
Djati. Di makam Sunan Gunung Djati juga terdapat makam keluarganya yang disebut
dengan nama Wukir Sapta Rengga. Kompleks
Makam Sunan Gunung Jati memiliki lahan seluas empat hektare, terletak di Desa
Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Jaraknya kira-kira 3 km
sebelah utara Cirebon. Selain tempat utama untuk peziarah, kompleks ini juga
dilengkapi tempat pedagang kaki lima, alun-alun, lapangan parkir, dan fasilitas
umum lain. Kawasan Makam Sunan Gunung Jati terdiri dari dua kompleks makam.
Yang utama ialah Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung terdiri
dari sekitar 500 makam, letaknya di sebelah barat Jln. Raya
Cirebon-Karangampel-Indramayu. Yang satu lagi yakni Kompleks Makam Syekh Dathul
Kahfi di Gunung Jati, berada di timur jalan raya. Susunan Makam ini terdapat
sembilan tingkat, dan pada tingkat kesembilan inilah Sunan Gunung Djati
dimakamkan. Sedangkan tingkat kedelapan ke bawah adalah makam keluarga dan para
keturunannya, baik keturunan yang dari Kraton Kanoman maupun keturunan dari
Kraton Kasepuhan.
Makam yang menempati lahan seluas 4 hektar
ini merupakan obyek wisata ziarah yang banyak dikunjungi oleh para
wisatawan/peziarah baik dari Cirebon maupun kota-kota sekitarnya. Kedatangan
para peziarah itu biasanya berlangsung pada waktu-waktu tertentu seperti Jumat
Kliwon, peringatan maulud Nabi Muhammad SAW, ritual Grebeg Syawal, ritual
Grebeg Rayagung, dan ritual pencucian jimat.
Kompleks Makam Sunan Gunung Jati di Gunung
Sembung memiliki 9 pintu utama (Lawang Songo). Namun demikian untuk peziarah
umum, hanya diizinkan sampai pintu ke-4 di serambi muka Pesambangan. Serambi
muka dibatasi Lawang Gedhe, pintu pembatas bagi peziarah umum. Area di depan
Lawang Pasujudan Makam Sunan Gunung Jati ini merupakan tempat dimana para
peziarah biasa berkumpul dalam kelompok-kelompok dan bersama-sama berzikir
memanjatkan doa. Pintu ke-5 sampai 9, lebih ekslusif, hanya diperuntukkan bagi
keturunan Sunan Gunung Jati, yakni para sultan dan kerabatnya di Keraton
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Pusat dari kompleks yakni Makam Sunan
Gunung Jati berada setelah pintu ke-9, terletak di Puncak Gunung Sembung yang
tingginya mencapai 20 meter. Di sebelah barat serambi muka ada Lawang Mergu,
diperuntukkan bagi para peziarah Tiong Hoa yang ingin berdoa
untuk Putri Ong Tien Nio. Inilah sebabnya mengapa terdapat begitu banyak
keramik dengan kondisi baik dan berornamen unik juga gambar yang menarik
seperti burung, orang berpakaian khas Tionghoa dan bunga-bunga. Rupanya
keramik-keramik aneka warna yang terintegrasi di dinding itu dibawa oleh Putri
Ong Tien Nio dari China. Di makam ini terdapat pasir malela yang berasal
dari Mekkah yang dibawa langsung oleh Pangeran Cakrabuana, putera Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran. Karena proses pengambilan
pasir dari Mekkah itu membutuhkan perjuangan yang cukup berat, maka pengunjung
dan juru kunci yang akan keluar dari kompleks makam ini harus membersihkan
kakinya terlebih dahulu, agar pasir tidak terbawa keluar kompleks walau hanya
sedikit. Larangan tersebut merupakan instruksi langsung dari Pangeran
Cakrabuana sendiri. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir
sekitar tahun 1450 dari ayah bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin
Jamaluddin Akbar asal Gujarat, India, yang dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar
oleh kaum Sufi, dan ibu bernama Nyai Rara Santang, putri Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang. Sunan Gunung Jati merupakan
satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat. Selain berperan
besar dalam penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada 22 Juni 1527, yang
sebelumnya merupakan satu-satunya kota pelabuhan yang masih dikuasai oleh
Kerajaan Sunda Pajajaran. Konon pada saat jatuhnya ibu kota Kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran pada 1568, Sunan Gunung Jati memberi dua pilihan. Pilihan
pertama, para pembesar Istana Pakuan yang masuk Islam akan dipertahankan
kedudukan dan gelarnya sebagai Pangeran, Putri atau Panglima dan boleh tetap
tinggal di keraton masing-masing. Sebagian besar Pangeran dan Putri Raja menerima
pilihan pertama ini. Pilihan kedua adalah bagi yang tidak masuk Islam harus
keluar dari ibukota Pakuan dan pindah ke pedalaman Banten, yang sekarang
bernama Cibeo. Panglima dan Pasukan Kawal Istana yang jumlahnya 40 orang
memilih keluar dari ibukota, yang kemudian menjadi cikal bakal penduduk Baduy
Dalam.
0 komentar:
Posting Komentar