Makam
Nyi Mas Ratu Gandasari, atau Nyi Mas Panguragan, berada di Desa Panguragan,
Kecamatan Arjawinangun, Cirebon. Ada beberapa versi tentang tokoh Nyi Mas Ratu
Gandasari ini. Salah satunya menyebutkan bahwa Ratu Mas Ratu Gandasari berasal
dari Aceh, keponakan Fatahillah, dan puteri Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur.
Nyi
Mas Ratu Gandasari dibawa ke Jawa sejak kecil dan diangkat anak oleh Ki Kuwu
Cirebon atau Ki Ageng Selapandan, atau Pangeran Cakrabuana, yang masih
keturunan Siliwangi, dan sebutan Nyi Mas Ratu Gandasari diberikan oleh Sunan
Gunung Jati setelah menjadi muridnya.
Adalah
berkat kesaktian dan kepintaran Nyi Mas Ratu Gandasari maka Raja Galuh dari
Majalengka yang beragama Hindu bisa ditaklukkan. Nyi Mas Ratu Gandasari pun
ikut berjasa dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon.
Dalam
sebuah sayembara yang diselenggarakan untuk mendapatkan jodohnya, Nyi Mas Ratu
Ayu Gandasari dikalahkan oleh Syekh Magelung Sakti. Keduanya kemudian
dijodohkan oleh Sunan Gunung Jati dan menjadi suami isteri.
Sosok
Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang
kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung
Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke
arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari
Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari
yang sedang mencari pasangan hidupnya.
Menurut
masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa
Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah,
putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak
serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat
sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Versi
lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan
Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu
murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Konon,
karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu
pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu
Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat).
Pada
waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak
segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan,
bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas
Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.
Ki
Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan
sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera
menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya
tersebut disetujui nya dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki
ilmu lebih dari dirinya.
Meskipun
telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan
berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun
mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun
rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri.
Siapapun
yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak
diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada
satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede
Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar
berhasil dikalahkannya.
Hingga
akhirnya Pangeran Soka ( Magelung Sakti ) memasuki arena sayembara. Meskipun
keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun
akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati. Namun,
Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan
hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran
Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya.
Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang
menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan
Gunung Jati. Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syekh
Magelung Sakti dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi
pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan
sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai
dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan
sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.